Di Suatu Malam
Empat tahun yang lalu ketika aku masih menimba ilmu di sebuah kampus terkemuka di Jawa Timur, kurasakan sebuah peristiwa menegangkan pertama kali dalam hidupku.
Pagi itu setelah aku persiapkan semua agenda yang akan kuselesaikan di kampus, kurasakan kerinduan yang sangat dalam pada sosok perempuan berkulit putih yang tinggal jauh di sebuah perkampungan tempat aku terlahir, itulah sosok ibuku.
Perasaan itu semakin menjadi ketika tampak bayangan ibu dan kandungannya yang telah berusia lebih dari sembilan bulan. Tanpa pikir panjang, saat itu juga aku putuskan meluncur ke terminal, menjemput bus yang menuju arah jogja. Sementara itu rencana kegiatan yang ada di tanganku segera kulempar. Dari terminal itu aku menyusuri jalur perjalanan melewati ibu kota propinsi Jawa Timur menuju tempat yang kurindukan. Di tengah perjalanan itu nampak bayangan ibu yang terlihat sakit menahan sesuatu dan tampak sangat kelelahan. Bayangan itu mengisyaratkan sesuatu sebab ibuku hamil di usianya yang sudah kepala empat, sungguh aku menjadi semakin khawatir karenanya.
Perjalanan antar propinsi itu cukup melelahkan meskipun aku selalu menghabiskan waktu di bus dengan membaca lalu tidur, hingga sore harinya aku telah sampai di kota solo, tempat dimana aku biasa transit sebelum pulang ke kampung halaman. Setelah beberapa saat istirahat di rumah eyangku, akhirnya kuputuskan untuk segera ke desa sebab perasaan itu semakin memuncak, tak kusadari air mataku menetes membasahi kaos putihku. Sepertinya memberi pesan agar aku segera pulang.
Saat itulah hatiku menjadi semakin tidak karuan, sambil beberapa kali kuusap air mata di pipiku. Aku terus berdo’a agar ibu baik-baik saja. Sepertinya tempat pemberhentian yang aku tuju telah dekat, maka aku buru-buru mendekat ke pintu keluar bus. Dan akhirnya bus berhenti, kulihat ayah dengan motor bututnya telah menunggu aku di seberang jalan.
Kucium tangan ayahku, lalu segera kunaik dan meluncur kencang ke arah rumahku, rumah yang berada di tengah kesunyian persawahan. Tempat yang terasa lengang ketika malam menjelang dan hanya suara binatang yang terdengar sayup-sayup saat malam menjelang.
Lima belas menit sudah, aku tiba di rumah tempat ibuku terbaring lemah. Aku langsung menghampiri kamar ibu, ternyata kamar itu telah ramai dengan teriakan pembantuku dan rintihan ibu. Rintihan itu terdengar beberapa saat setelah ayah meninggalkan rumah untuk menjemputku, karena bayi yang ada di dalam kandungan ibu ingin segera keluar.
Kucium tangan dan pipi ibuku untuk melepas rasa kangen, tak kuhiraukan rintihan itu. Kutemani ibu dalam proses awal melahirkan, hampir setengah jam lebih belum tampak hasilnya, saat itu juga aku tiba-tiba menjadi panik karena ibuku sudah tua dan tidak sekuat dulu lagi. Kudorong dan kutekan perutnya yang sangat keras itu agar bayinya keluar, namun selama hampir setangah jam belum juga berhasil.
Ayahku memutuskan untuk membawanya ke bidan terdekat, akupun ikut menemani walaupun badan terasa berat karena rasa capek perjalanan selama lebih dari delapan jam itu belum hilang. Ikut bersama kami nenek yang sejak awal menemani ibu. Aku terus di samping ibuku hingga saat proses kelahirannya ditangani oleh bidan.
Bidan meminta ibuku mengeluarkan semua tenaganya, namun tampaknya sia-sia saja sebab sisa-sisa tenaganya tidak cukup untuk mengeluarkan bayi dalam perut ibu. Aku membantu menekan, mendorong dan mengurut perut ibu serta berharap agar segera diberi kemudahan. Satu jam lebih bidan berjuang dan kamipun membantu, namun belum juga keluar bayi itu.
Saat inilah kumerasakan hal luar biasa, pertama kali dalam hidup. Kemudian kalimat lembut keluar dari bibir ibu, kalimat kepasrahan dan harapan. Inilah petikan kalimat pesan itu :
“Di, kamu yang tabah ya, ibu minta maaf atas kesalahan yang ibu perbuat selama ini, ibu juga berpesan mintakan maaf ibu kepada ayahmu, jagalah adik-adikmu”, lalu ibu berhenti sejenak sambil mengambil nafas, kemudian berkata lagi “Di, ibu sudah tidak kuat lagi”. Kalimat itu keluar dari bibir ibuku yang selama ini tampak tegar, wajah ibu terlihat pucat dan matanya setangah terpejam. Sungguh aku tak kuasa menahan tangis, tumpahlah air mataku sejadi jadinya. Saat itulah pikiranku melayang entah kemana, kuingat dosa-dosa yang pernah kulakukan pada ibuku saat aku masih duduk di bangku sekolah menengah. Aku sering melawan, membantah dan tidak jarang membuat ibu menangis, aku adalah anak yang durhaka. Akankah ibu mau memaafkan aku?. Terbayang pula olehku saat-saat dimana ibuku setia menemani dan membelai dengan lembut saat aku tertidur, terlihat jelas bayangan ibu yang hampir setiap malam menangis sambil berdoa untuk aku, adik-adik dan untuk kami kelak.
Kulihat di sekelilingku, ayah yang berusaha tetap tegar, bidan yang berharap dengan cemas, nenek yang terlihat sibuk membantu, juga terlihat olehku mendung menutupi langit-langit malam itu. Kuteriak sambil menangis “ibu, janganlah berkata begitu karena Allah pasti memberi kemudahan kita”. Beberapa saat kemudian, bidan menyarankan kami untuk membawanya ke rumah sakit. Bergegas kami menyiapkan mobil menuju sebuah rumah sakit daerah dekat tempat kami.
Sesampainya di rumah sakit, aku tiba-tiba saja mengantuk berat, mungkin sengaja Allah pejamkan mataku agar tidak melihat ibuku merasakan sakitnya lagi. Kutertidur di kursi ruang tunggu rumah sakit untuk beberapa lama.
Kemudian ayahku membangunkanku, dengan kondisi setengah sadar aku diajak berjalan menuju kamar tempat ibuku dirawat. Setelah melihatnya, aku bersyukur karena ibuku selamat, tapi dimana bayinya?. Aku menanyakan pada ayahku, ternyata adik kecilku masih dalam perawatan. Beberapa saat sesudahnya kulihat nenekku menggendong bayi kecil yang di kepalanya terlihat bekas luka. Alhamdulillah, ibu dan adikku selamat meskipun dengan perjuangan yang sangat berat.
Teman-teman, saudaraku yang saya cintai karena Allah, peristiwa ini merupakan cerita nyata yang sangat berkesan bagiku. Aku sangat marah bila melihat seorang perempuan dilecehkan,
dihina dan diperkosa haknya. Begitu pula aku sangat benci melihat anak-anak yang mendurhakai orang tuanya, terutama ibunya. Berusahalah merasakan sakit luar biasa yang mereka rasakan, maka kamu sedikitpun tidak pantas untuk membantah mereka meskipun hanya sekali melainkan bila orang tua atau ibu menyuruh kita bermaksiat pada NYA.